Cerita
terbentuknya danau ranau ada dua versi, yaitu versi dongeng dan versi faktor
alam .
yang
pertama adalah versi dongeng yang pernah saya dengar langsung dari nenek saya .
cekidot
...
Danau
Ranau mempunyai luas 128 km persegi atau 8x16 km mempunyai cerita legenda yang
menarik. Menurut cerita yang berkembang selama ini, alkisah pada zaman dahulu
kala di sebuah desa yang subur di tepi sebuah paya-paya (rawa) yang luas
tinggallah seorang tetua adat. Paya-paya tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon
Reranau. Di samping itu tumbuh pula sebatang pohon Hara yang sangat besar. Di
pohon ini banyak sekali burung-burung yang bersarang dan di antaranya terdapat
sepasang burung yang besar sekali dan menjadi pimpinan diantaranya.
Mata
pencaharian penduduk desa itu adalah mencari ikan serta bercocok tanam dengan
berladang dan menggarap sawah. Karena suburnya daerah ini, banyak orang yang
berdatangan dan bermukim serta mencari nafkah dengan bercocok tanam. Untuk itu,
mereka membuka lahan-lahan baru yang masih subur, namun makin lama penduduk
berladang sampai ke puncak-puncak bukit dan gunung-gunung bahkan sampai ke
hutan larangan. Mereka selalu berpindah-pindah mencari lahan baru yang masih
subur. Larangan serta aturan adat dalam berladang sudah tidak diindahkan lagi
oleh penduduk, mereka tidak mau lagi mendengar petuah yang diberikan oleh
pemimpin adat.
Seiring
dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk semakin banyak dan kesibukan orang
tua untuk mengasuh anak-anaknya makin meningkat. Akibatnya anak-anak kurang
diperhatikan sehingga mereka tidak hanya bermain tetapi sudah mulai merusak.
Mereka mulai mengganggu burung-burung dan mengambil sarangnya di sekitar
paya-paya dan yang hidup di pohon-pohon. Anak-anak ini menangkap burung dan
mengambil sarangnya untuk dijadikan permainan. Melihat keadaan ini, kedua burung
besar itu menjadi sangat marah. Mereka mulai menyerang orang-orang yang lewat
serta orang yang berada di dekat sarangnya. Nampaknya kedua burung besar itu
melakukan protes atas gangguan terhadap kehidupannya.
Penduduk
mulai mencoba mengusir burung tersebut dengan jalan menebang pohon Hara namun
tidak berhasil, bahkan kedua burung itu menjadi semakin ganas. Beberapa orang
sepakat untuk mengadukan berita ini pada tetua adat yang selama ini mereka
lupakan dan memohon bantuannya untuk mengusir kedua burung tersebut. Setelah
berbincang-bincang dan mendapat petuah, mereka akhirnya pulang. Sementara itu,
tetua adat memohon petunjuk dan kekuatan untuk memusnahkan kedua burung yang
telah menyebabkan malapetaka bagi orang kampung.
Setelah
beberapa waktu penduduk laki-laki dikumpulkan dan pada hari yang telah
ditentukan dengan dipimpin oleh tetua adat, masyarakat beramai-ramai pergi ke
tepi paya-paya. Tidak lama kemudian, kedua burung itu datang menyerang, namun
tetua adat telah siap menghadapinya dengan mengerahkan segala kekuatan dan
kesaktiannya. Akhirnya, tetua adat dapat mengusir kedua burung ganas itu.
Kemudian
atas petunjuk dari tetua adat, maka penduduk akhirnya berusaha untuk menebang
pohon Hara dan pohon Reranau. Tetapi kedua pohon itu seolah memiliki kekuatan
sehingga tidak mempan ditebang. Setelah tetua adat menancapkan kapaknya,
barulah penduduk beramai-ramai dapat menebangnya, pohon Hara itu akhirnya
tumbang. Dari pohon Hara yang ditebang itu keluarlah mata air, makin lama makin
banyak yang akhirnya menggenangi paya-paya tersebut. Kini terbentuklah sebuah
danau yang besar dan indah, yang disebut dengan Danau Ranau. Untuk menghormati
jasa tetua adat, maka penduduk memberinya gelar "Singa Juru" yang
berarti pemimpin gagah berani dan bijaksana.
berikutnya
adalah versi faktor alam.
AWALNYA
adalah letusan yang dahsyat dari sebuah gunung berapi. Letusan itu
mengakibatkan tanah terbelah menjadi semacam jurang yang memanjang. Sungai
besar yang sebelumnya mengalir di kaki gunung berapi itu kemudian menjadi sumber
air utama yang mengisi belahan akibat letusan itu.
Air
terus-menerus mengalir ke dalam belahan yang menyerupai lubang besar. Dan
lama-kelamaan lubang besar penuh dengan air. Lalu, di sekeliling danau baru itu
mulai ditumbuhi berbagai tanaman, di antaranya tumbuhan semak yang oleh warga
setempat disebut ranau. Maka danau itu pun dinamakanlah Danau Ranau.<>
Itulah
legenda terjadinya Danau Ranau. Sisa gunung api itu kini menjadi Gunung
Seminung yang berdiri kokoh di tepi danau berair jernih tersebut.
Dari
masa ke masa, Danau Ranau menjadi saksi kisah dan legenda masyarakat Banding
Agung. Salah satu kisahnya adalah legenda Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat.
Mereka berdua adalah dua jawara yang amat disegani oleh lawan-lawannya.
Karena
masing-masing jawara itu penasaran dengan kekuatan lawan, suatu kali mereka
bertemu untuk mengadu kesaktian. Pertarungan itu bukan pertarungan kemampuan
bela diri, tetapi menguji kesaktian. Pemenang ditentukan dengan cara
masing-masing kesatria itu bergantian tidur menelungkup di bawah rumpun bunga
aren. Siapa yang mampu menghindari terjangan bunga aren yang dipotong, menjadi
pemenang.
Disepakati
Si Mata Empat yang terlebih dulu tidur menelungkup di bawah bunga aren itu.
Ketika bunga aren dipotong oleh Si Pahit Lidah dan deras menghujam ke tanah,
ternyata dengan gesit Si Mata Empat mampu menghindar. Itu karena Si Mata Empat
memiliki dua mata di belakang kepalanya hingga dengan mudah menghindar ketika
bunga aren yang lebat dan berat itu meluncur ke bawah.
Giliran
Si Pahit Lidah tidur menelungkup di bawah gugusan bunga aren itu. Si Mata Empat
kemudian memanjat pohon dan memotong bunga aren. Gugusan bunga yang berat itu
segera menghujam tubuh Si Pahit Lidah. Ia tewas karena tidak mampu menghindar
dari terjangan gugusan bunga aren.
Si
Mata Empat menang, namun ia penasaran. Sebuah pertanyaan mengganggu dalam
hatinya, “Benarkah lidahnya pahit seperti julukannya?” tanya Si Mata Empat
dalam hati.
Dengan
penasaran ia kemudian mencucukkan jarinya ke mulut Si Pahit Lidah yang tewas.
Lalu perlahan-lahan jari yang telah mengenai liur Si Pahit Lidah itu diisap
oleh Si Mata Empat. Ternyata air liurnya mengadung racun sehingga Si Mata Empat
pun mati.
Mereka
kemudian dimakamkan di tepi danau tersebut. Mereka menjadi bagian makam leluhur
warga Ranau yang disemayamkan di sekitar danau tersebut. Karena itu, setiap
kali warga Ranau berziarah ke makam mereka sebelum mengadakan hajatan besar,
semisal Festival Danau Ranau, Juli lalu.
Warga
Banding Agung mengatakan, kedekatan dengan para leluhur itu merupakan bagian
dari hidup warga setempat. Mereka memiliki penghormatan pada tradisi itu. Warga
menjaga dengan sungguh-sungguh warisan alam itu dengan baik. Oleh karena itu,
keaslian Danau Ranau tetap terjaga, dan tak ada yang memungkiri keelokan danau
tersebut.
DANAU
Ranau memang memiliki pesona. Bagamaina tidak? Bekas letusan gunung berapi
tersebut seolah membentuk panggung alam yang elok. Gunung Seminung yang
menjulang 1.880 meter di atas permukaan laut menjadi latar belakang yang penuh
dengan nuansa magis. Tebing dan barisan perbukitan menjadi pagar pembatas
panggung megah itu.
Hamparan
sawah yang hijau berpadu dengan air Danau Ranau yang biru seolah menjadi
pelataran tempat berbagai jenis ikan berenang, menari. Butir-butir kopi yang
merah seakan-akan menjadi pemanis keindahan itu. Keelokan itu menjadi lengkap
dengan bingkai indah pantai berpasir dan kerikil putih yang ada di sepanjang
tepi danau itu.
Pada
pandangan pertama, kesemarakan alam itu memikat mata. Penat karena harus duduk
melipat kaki di mobil perlahan hilang, berganti kesejukan ketika merendam kaki
telanjang ke dalam air danau yang dingin. Air terjun yang indah dan pemandian
air panas membuat segala kejenuhan lenyap. Tubuh pun segar kembali.
Namun
sayang, kekayaan itu tak tergarap apik. Tebaran pesona Danau Ranau yang memikat
terasa kurang mengikat dan membekaskan niat untuk kembali lagi, lantaran
sebagai kawasan wisata Danau Ranau yang luasnya lebih dari 44 kilometer persegi
itu belum memiliki daya dukung yang memadai.
Setidaknya
hanya terdapat dua losmen dan satu hotel kecil di Banding Agung, sebuah
kecamatan yang berada di tepi danau tersebut. Kalaupun ada wisma yang lebih
bagus itu adalah sebuah peristirahatan yang dikelola oleh PT Pusri. Selebihnya
adalah home stay yang dikelola warga. Tiap kamar di rumah penduduk yang
disewakan sebagai home stay itu dihargai Rp 30.000.
SAYANG
memang, kawasan yang masih asli itu belum digarap dengan sungguh-sungguh.
Promosi pariwisata yang digalang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ogan Komering
Ulu, Sumatera Selatan, lewat Festival Danau Ranau belum juga memancing minat
investor. Promosi yang digalakkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat lewat
Festival Teluk Setabas pun hingga kini belum juga mendatangkan investasi.
Pengelolaan
kawasan yang berada di dua kabupaten dan dua provinsi itu tampaknya membutuhkan
angin segar atau napas baru agar keelokan Danau Ranau terus berdetak dan
menggetarkan minat pelancong untuk datang kembali.
Memang
ada baiknya jika kedua pemerintah daerah itu melakukan share untuk mengelola
kawasan itu sehingga mampu mendatangkan kemakmuran bagi warga di sana. Sayang
jika setelah kelelahan akibat perjalanan selama enam jam dari Bandar Lampung,
Danau Ranau kurang membangkitkan minat untuk kembali lagi.
Mungkin
perlu disiasati dengan membangun tempat wisata yang meskipun kecil tetapi
membuat pelancong tidak jenuh. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat sudah mencoba
membuat gardu pandang di sebuah bukit antara Liwa dan Bukit Kemuning.
Sayangnya, gardu pandang itu juga kurang dirawat dengan baik. Selain itu,
pemandangan di kaki bukit masih didominasi perkebunan kopi yang masih baru.
Danau
Ranau memang belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Danau Toba di
Sumatera Utara. Kawasan yang terletak di kaki Puncak Pusubuhit itu memiliki
sarana perhotelan dan jaringan jalan yang bagus.
Meskipun
terus terancam pembabatan hutan, pada bagian tertentu hutan pinus di kawasan
itu tetap dijaga. Selain itu, adat kebiasaan setempat serta potensi lokal
dipelihara sehingga mengundang turis-baik dalam maupun luar negeri-selalu ingin
kembali lagi ke sana.
Waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai kawasan kedua danau tersebut tidak jauh berbeda.
Dari Medan dibutuhkan waktu sekitar esmpat jam untuk mencapai Parapat, kecamatan
yang berada di tepi Danau Toba. Sementara itu juga dibutuhkan waktu lima jam
hingga enam jam dari Bandar Lampung untuk mencapai Danau Ranau.
Waktu
yang panjang setidaknya dapat disiasati dengan pariwisata yang mengetengahkan
perkampungan adat, sejarah perkebunan lada, atau pariwisata perkebunan.
Itu
perlu dilakukan karena jalur menuju Danau Ranau juga melewati Kotabumi,
Kabupaten Lampung Utara, yang menyimpan sejarah kejayaan perkebunan lada masa
silam. Selain itu, di sepanjang jalan menuju Danau Ranau banyak terdapat rumah
tradisional Lampung.
No comments:
Post a Comment