taufiq

Sunday, December 1, 2013

Asal Mula Danau Ranau


  
 
   Cerita terbentuknya danau ranau ada dua versi, yaitu versi dongeng dan versi faktor alam .
   yang pertama adalah versi dongeng yang pernah saya dengar langsung dari nenek saya .
cekidot ...
Danau Ranau mempunyai luas 128 km persegi atau 8x16 km mempunyai cerita legenda yang menarik. Menurut cerita yang berkembang selama ini, alkisah pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang subur di tepi sebuah paya-paya (rawa) yang luas tinggallah seorang tetua adat. Paya-paya tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon Reranau. Di samping itu tumbuh pula sebatang pohon Hara yang sangat besar. Di pohon ini banyak sekali burung-burung yang bersarang dan di antaranya terdapat sepasang burung yang besar sekali dan menjadi pimpinan diantaranya.

  Mata pencaharian penduduk desa itu adalah mencari ikan serta bercocok tanam dengan berladang dan menggarap sawah. Karena suburnya daerah ini, banyak orang yang berdatangan dan bermukim serta mencari nafkah dengan bercocok tanam. Untuk itu, mereka membuka lahan-lahan baru yang masih subur, namun makin lama penduduk berladang sampai ke puncak-puncak bukit dan gunung-gunung bahkan sampai ke hutan larangan. Mereka selalu berpindah-pindah mencari lahan baru yang masih subur. Larangan serta aturan adat dalam berladang sudah tidak diindahkan lagi oleh penduduk, mereka tidak mau lagi mendengar petuah yang diberikan oleh pemimpin adat.
Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk semakin banyak dan kesibukan orang tua untuk mengasuh anak-anaknya makin meningkat. Akibatnya anak-anak kurang diperhatikan sehingga mereka tidak hanya bermain tetapi sudah mulai merusak. Mereka mulai mengganggu burung-burung dan mengambil sarangnya di sekitar paya-paya dan yang hidup di pohon-pohon. Anak-anak ini menangkap burung dan mengambil sarangnya untuk dijadikan permainan. Melihat keadaan ini, kedua burung besar itu menjadi sangat marah. Mereka mulai menyerang orang-orang yang lewat serta orang yang berada di dekat sarangnya. Nampaknya kedua burung besar itu melakukan protes atas gangguan terhadap kehidupannya.
Penduduk mulai mencoba mengusir burung tersebut dengan jalan menebang pohon Hara namun tidak berhasil, bahkan kedua burung itu menjadi semakin ganas. Beberapa orang sepakat untuk mengadukan berita ini pada tetua adat yang selama ini mereka lupakan dan memohon bantuannya untuk mengusir kedua burung tersebut. Setelah berbincang-bincang dan mendapat petuah, mereka akhirnya pulang. Sementara itu, tetua adat memohon petunjuk dan kekuatan untuk memusnahkan kedua burung yang telah menyebabkan malapetaka bagi orang kampung.
Setelah beberapa waktu penduduk laki-laki dikumpulkan dan pada hari yang telah ditentukan dengan dipimpin oleh tetua adat, masyarakat beramai-ramai pergi ke tepi paya-paya. Tidak lama kemudian, kedua burung itu datang menyerang, namun tetua adat telah siap menghadapinya dengan mengerahkan segala kekuatan dan kesaktiannya. Akhirnya, tetua adat dapat mengusir kedua burung ganas itu.
Kemudian atas petunjuk dari tetua adat, maka penduduk akhirnya berusaha untuk menebang pohon Hara dan pohon Reranau. Tetapi kedua pohon itu seolah memiliki kekuatan sehingga tidak mempan ditebang. Setelah tetua adat menancapkan kapaknya, barulah penduduk beramai-ramai dapat menebangnya, pohon Hara itu akhirnya tumbang. Dari pohon Hara yang ditebang itu keluarlah mata air, makin lama makin banyak yang akhirnya menggenangi paya-paya tersebut. Kini terbentuklah sebuah danau yang besar dan indah, yang disebut dengan Danau Ranau. Untuk menghormati jasa tetua adat, maka penduduk memberinya gelar "Singa Juru" yang berarti pemimpin gagah berani dan bijaksana. 

   berikutnya adalah versi faktor alam.

  AWALNYA adalah letusan yang dahsyat dari sebuah gunung berapi. Letusan itu mengakibatkan tanah terbelah menjadi semacam jurang yang memanjang. Sungai besar yang sebelumnya mengalir di kaki gunung berapi itu kemudian menjadi sumber air utama yang mengisi belahan akibat letusan itu.
Air terus-menerus mengalir ke dalam belahan yang menyerupai lubang besar. Dan lama-kelamaan lubang besar penuh dengan air. Lalu, di sekeliling danau baru itu mulai ditumbuhi berbagai tanaman, di antaranya tumbuhan semak yang oleh warga setempat disebut ranau. Maka danau itu pun dinamakanlah Danau Ranau.<>
Itulah legenda terjadinya Danau Ranau. Sisa gunung api itu kini menjadi Gunung Seminung yang berdiri kokoh di tepi danau berair jernih tersebut.
Dari masa ke masa, Danau Ranau menjadi saksi kisah dan legenda masyarakat Banding Agung. Salah satu kisahnya adalah legenda Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Mereka berdua adalah dua jawara yang amat disegani oleh lawan-lawannya.
Karena masing-masing jawara itu penasaran dengan kekuatan lawan, suatu kali mereka bertemu untuk mengadu kesaktian. Pertarungan itu bukan pertarungan kemampuan bela diri, tetapi menguji kesaktian. Pemenang ditentukan dengan cara masing-masing kesatria itu bergantian tidur menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Siapa yang mampu menghindari terjangan bunga aren yang dipotong, menjadi pemenang.
Disepakati Si Mata Empat yang terlebih dulu tidur menelungkup di bawah bunga aren itu. Ketika bunga aren dipotong oleh Si Pahit Lidah dan deras menghujam ke tanah, ternyata dengan gesit Si Mata Empat mampu menghindar. Itu karena Si Mata Empat memiliki dua mata di belakang kepalanya hingga dengan mudah menghindar ketika bunga aren yang lebat dan berat itu meluncur ke bawah.
Giliran Si Pahit Lidah tidur menelungkup di bawah gugusan bunga aren itu. Si Mata Empat kemudian memanjat pohon dan memotong bunga aren. Gugusan bunga yang berat itu segera menghujam tubuh Si Pahit Lidah. Ia tewas karena tidak mampu menghindar dari terjangan gugusan bunga aren.
Si Mata Empat menang, namun ia penasaran. Sebuah pertanyaan mengganggu dalam hatinya, “Benarkah lidahnya pahit seperti julukannya?” tanya Si Mata Empat dalam hati.
Dengan penasaran ia kemudian mencucukkan jarinya ke mulut Si Pahit Lidah yang tewas. Lalu perlahan-lahan jari yang telah mengenai liur Si Pahit Lidah itu diisap oleh Si Mata Empat. Ternyata air liurnya mengadung racun sehingga Si Mata Empat pun mati.
Mereka kemudian dimakamkan di tepi danau tersebut. Mereka menjadi bagian makam leluhur warga Ranau yang disemayamkan di sekitar danau tersebut. Karena itu, setiap kali warga Ranau berziarah ke makam mereka sebelum mengadakan hajatan besar, semisal Festival Danau Ranau, Juli lalu.
Warga Banding Agung mengatakan, kedekatan dengan para leluhur itu merupakan bagian dari hidup warga setempat. Mereka memiliki penghormatan pada tradisi itu. Warga menjaga dengan sungguh-sungguh warisan alam itu dengan baik. Oleh karena itu, keaslian Danau Ranau tetap terjaga, dan tak ada yang memungkiri keelokan danau tersebut.
DANAU Ranau memang memiliki pesona. Bagamaina tidak? Bekas letusan gunung berapi tersebut seolah membentuk panggung alam yang elok. Gunung Seminung yang menjulang 1.880 meter di atas permukaan laut menjadi latar belakang yang penuh dengan nuansa magis. Tebing dan barisan perbukitan menjadi pagar pembatas panggung megah itu.
Hamparan sawah yang hijau berpadu dengan air Danau Ranau yang biru seolah menjadi pelataran tempat berbagai jenis ikan berenang, menari. Butir-butir kopi yang merah seakan-akan menjadi pemanis keindahan itu. Keelokan itu menjadi lengkap dengan bingkai indah pantai berpasir dan kerikil putih yang ada di sepanjang tepi danau itu.
Pada pandangan pertama, kesemarakan alam itu memikat mata. Penat karena harus duduk melipat kaki di mobil perlahan hilang, berganti kesejukan ketika merendam kaki telanjang ke dalam air danau yang dingin. Air terjun yang indah dan pemandian air panas membuat segala kejenuhan lenyap. Tubuh pun segar kembali.
Namun sayang, kekayaan itu tak tergarap apik. Tebaran pesona Danau Ranau yang memikat terasa kurang mengikat dan membekaskan niat untuk kembali lagi, lantaran sebagai kawasan wisata Danau Ranau yang luasnya lebih dari 44 kilometer persegi itu belum memiliki daya dukung yang memadai.
Setidaknya hanya terdapat dua losmen dan satu hotel kecil di Banding Agung, sebuah kecamatan yang berada di tepi danau tersebut. Kalaupun ada wisma yang lebih bagus itu adalah sebuah peristirahatan yang dikelola oleh PT Pusri. Selebihnya adalah home stay yang dikelola warga. Tiap kamar di rumah penduduk yang disewakan sebagai home stay itu dihargai Rp 30.000.
SAYANG memang, kawasan yang masih asli itu belum digarap dengan sungguh-sungguh. Promosi pariwisata yang digalang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, lewat Festival Danau Ranau belum juga memancing minat investor. Promosi yang digalakkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat lewat Festival Teluk Setabas pun hingga kini belum juga mendatangkan investasi.
Pengelolaan kawasan yang berada di dua kabupaten dan dua provinsi itu tampaknya membutuhkan angin segar atau napas baru agar keelokan Danau Ranau terus berdetak dan menggetarkan minat pelancong untuk datang kembali.
Memang ada baiknya jika kedua pemerintah daerah itu melakukan share untuk mengelola kawasan itu sehingga mampu mendatangkan kemakmuran bagi warga di sana. Sayang jika setelah kelelahan akibat perjalanan selama enam jam dari Bandar Lampung, Danau Ranau kurang membangkitkan minat untuk kembali lagi.
Mungkin perlu disiasati dengan membangun tempat wisata yang meskipun kecil tetapi membuat pelancong tidak jenuh. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat sudah mencoba membuat gardu pandang di sebuah bukit antara Liwa dan Bukit Kemuning. Sayangnya, gardu pandang itu juga kurang dirawat dengan baik. Selain itu, pemandangan di kaki bukit masih didominasi perkebunan kopi yang masih baru.
Danau Ranau memang belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Danau Toba di Sumatera Utara. Kawasan yang terletak di kaki Puncak Pusubuhit itu memiliki sarana perhotelan dan jaringan jalan yang bagus.
Meskipun terus terancam pembabatan hutan, pada bagian tertentu hutan pinus di kawasan itu tetap dijaga. Selain itu, adat kebiasaan setempat serta potensi lokal dipelihara sehingga mengundang turis-baik dalam maupun luar negeri-selalu ingin kembali lagi ke sana.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kawasan kedua danau tersebut tidak jauh berbeda. Dari Medan dibutuhkan waktu sekitar esmpat jam untuk mencapai Parapat, kecamatan yang berada di tepi Danau Toba. Sementara itu juga dibutuhkan waktu lima jam hingga enam jam dari Bandar Lampung untuk mencapai Danau Ranau.
Waktu yang panjang setidaknya dapat disiasati dengan pariwisata yang mengetengahkan perkampungan adat, sejarah perkebunan lada, atau pariwisata perkebunan.
Itu perlu dilakukan karena jalur menuju Danau Ranau juga melewati Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, yang menyimpan sejarah kejayaan perkebunan lada masa silam. Selain itu, di sepanjang jalan menuju Danau Ranau banyak terdapat rumah tradisional Lampung.


No comments:

Post a Comment